Rupiah Menguat Rp 15.088/US$ Ditopang Ramalan Sikap Dovish BI

Rupiah menunjukkan tren penguatan sepanjang awal tahun 2023, anjlok ke level Rp15.000 per dolar AS selama dua hari perdagangan terakhir. Penguatan ini akan berdampak positif bagi perekonomian domestik yang akan menurunkan inflasi dan mengurangi beban bunga utang pemerintah.

Rupiah menguat 3,9% sepanjang tahun ini menjadi Rp14.965 per dolar AS pada penutupan perdagangan Rabu (25/1). Penguatan rupiah sejalan dengan derasnya arus masuk modal asing ke pasar surat utang pemerintah di tengah ekspektasi bank sentral AS, The Fed, tidak akan menaikkan suku bunga seagresif tahun lalu.

Kepala Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution memperkirakan rupiah akan menguat ke level fundamental sekitar Rp14.500-15.000 pada tahun ini. Berbagai sentimen positif dari dalam dan luar negeri akan mendorong kenaikan nilai rupiah ke depan.

Dari luar negeri, inflasi di negara maju yang terus menurun akan mendukung ekspektasi bahwa The Fed tidak akan lagi menaikkan suku bunga acuannya secara agresif seperti tahun lalu. Beberapa indikator kunci, kata Damhuri, juga menunjukkan adanya kemungkinan ‘soft landing’ atau kemungkinan hanya resesi sedang.

Di dalam negeri, harga komoditas yang berpotensi tetap tinggi dapat membantu neraca perdagangan tetap surplus sehingga defisit transaksi berjalan dapat dijaga tetap rendah. Selain itu, prospek ekonomi Indonesia yang tetap baik ke depan juga akan turut menopang rupiah.

Ia menjelaskan, penguatan rupiah akan berdampak positif bagi perekonomian karena tekanan inflasi yang bersumber dari barang-barang impor berkurang.

Lebih lanjut, inflasi yang terkendali akan mendorong bank sentral menahan diri untuk tidak menaikkan suku bunga. Suku bunga yang akomodatif, bukan kenaikan, akan membantu menopang pemulihan ekonomi.

“Beban membayar bunga dan pokok utang luar negeri lebih ringan. Kemudian kepercayaan investor global terhadap perekonomian negara meningkat, dan masih banyak lagi dampak positif lainnya,” ujar Damhuri, Rabu (25/1).

Di sisi lain, penguatan rupiah memang akan berdampak negatif terhadap ekspor karena harga barang ekspor Indonesia akan semakin mahal. Namun, dia tidak melihat risiko produk Indonesia tidak berdaya saing di pasar global dan menyebabkan ekspor turun signifikan.

Senada dengan itu, Ekonom dari Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky mengatakan, penguatan rupiah akan membantu menjaga inflasi tetap terkendali karena barang impor menjadi lebih murah.

Selain itu, pembayaran bunga utang berdenominasi dolar AS juga menurun. Sementara itu, dampak terhadap ekspor dinilai tidak signifikan karena Indonesia justru dapat diuntungkan dengan dibukanya kembali aktivitas China.

Namun, Riefky menilai kebutuhan pasar saat ini sebenarnya tidak cukup untuk membuat rupiah terus menguat, bahkan harus lebih stabil. Sebab, para pebisnis membutuhkan rupiah yang stabil untuk mendukung rencana bisnisnya ke depan.

“Kalau rupiah tidak menentu, industri dan manufaktur akan kesulitan membuat perhitungan dan estimasi ke depan, sehingga risikonya justru lebih tinggi,” katanya.